Kamis, 15 Desember 2011

REVIEW JURNAL : “PERAN BADAN REINTEGRASI DAMAI ACEH (BRDA) DALAM PROSES DISARMAMENT, DEMOBILITATION, DAN REINTEGRATION (DDR) DI ACEH PASCA PERJANJIAN HELSINKI 2005

         Dalam jurnal yang berjudul “Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam Proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005” karangan Fakhrurrazi (Dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh) memang banyak mengandung nilai-nilai sosial politik di dalamnya. Tentu saja hal ini menarik untuk saya review ulang kembali dalam perspektif ilmu sosiologi yang nantinya bisa kita kaitkan dengan teori-teori yang mendukung, yaitu teori konflik maupun teori integrasi.
Dipaparkan dalam jurnal tersebut bahwa setelah terjadinya bencana alam tsunami di Aceh yang telah menelan banyak korban jiwa membuat petinggi GAM dan pihak RI untuk saling membuka pintu damai. Hal ini dibuktikan dengan terlaksananya Nota Kesepakatan di Helsinki yang merupakan prestasi gemilang yang telah dicapai oleh kedua belah pihak, yaitu antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan Nota Kesepakatan inilah menjadi poin awal untuk menacapai Aceh yang aman, damai, adil dan sejahtera dengan melaksanakan seluruh butir-butir Nota Kesepakatan secara benar dan utuh oleh pihak-pihak yang bertikai selama ini. Namun, sejalan dengan waktu, perdamaian yang telah dicapai oleh kedua belah pihak ini masih meninggalkan masalah yang berkaitan dengan bekas anggota GAM itu sendiri. Salah satu masalah dan kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia ialah masalah mekanisme penyaluran dana reintegrasi kepada mantan anggota GAM (eks kombatan GAM). Pemerintah menghendaki adanya transparasi penyaluran dana tersebut yaitu dengan langsung memberikan kepada para eks kombatan GAM setelah mereka mendaftarkan dirinya ke Dinas Sosial setempat. Akan tetapi GAM menolak cara ini. GAM menginginkan caranya tersendiri, yaitu mantan komandan GAM hanya menyerahkan jumlah mantan anggota GAM (eks kombatan) kepada Dinas Sosial tanpa menyertakan nama-namanya. Akhirnya, pihak pemerintah mengalah, dan menuruti pihak GAM. Namun, kesepakatan dan perdamaian yang telah tercapai antara GAM dan pemerintah RI masih menyisakan permasalahan-permasalahan yang lainnya pada para eks kombatan GAM. Maka pemerintah membentuk suatu program yang mungkin nantinya bisa menyelesaikan masalah ini, progaram itu bernama DDR (Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration). Nah, tujuan dari sebuah proses DDR itu sendiri berkaitan dengan faktor keamanan yang ada di Aceh. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, proses ini banyak sekali mengalami hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan itu diantaranya di bidang ekonomi, di bidang Polhukam (Politik, hukum dan keamanan) maupun di bidang sosial budaya. Dalam bidang ekonomi, konflik bersenjata mengakibatkan kerusakan dan kerugian infrastruktur fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini akan berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat Aceh yang menurun yang nantinya akan berdampak pula pada tingginya tingkat pengangguran. Inilah salah satu tantangan DDR yang harus dihadapi. Dalam bidang Polhukam, hambatan yang ada yaitu program DDR kekurangan alat-alat untuk menegakkan aturan karena tidak adanya angkatan kepolisian pada saat dilaksanakannya DDR tersebut. Dan dalam bidang sosila budaya, hambatannya lebih mengarah pada bagaimana para mantan anggota GAM dapat memperoleh manfaat dari pekerjaan yang sudah mereka ciptakan dan keinginan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Selain program DDR (Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration), pemerintah juga membetuk suatu badan untuk menunjang pelaksanaan program DDR dan proses reintegrasi di Aceh, badan tersebut bernama BRDA (Badan Reintegrasi Damai Aceh). Badan ini merupakan salah satu kunci yang dapat menyelasaikan persoalan proses reintegrasi di Aceh. Namun, lagi-lagi dalam proses pelaksanaannya, BRDA ternyata relative kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya BRDA dianggap sebagai lembaga yang tidak jelas payung hukumnya, BRDA belum bisa mengelola anggaran sendiri, dan yang terakhir BRDA belum segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian dan pembangunan, yang notabene cetak-biru ini merupakan petunjuk sudah sampai mana proses perdamaian berlangsung. Inilah hambatan-hambatan yang ada, yang menjadi titik perhatian pemerintah pusat untuk segera ditanggapi dan segera ditindaklanjuti secara bijaksana dan terarah.

0 komentar:

Posting Komentar