Kamis, 15 Desember 2011

Sosiologi Gender

Permasalahan yang menjadi wacana gender ini mulai timbul dalam iklan ketika keindahan digunakan untuk menggambarkan sebuah citra komoditas, menyinggung bias gender di dalamnya. Penggunaan jenis kelamin tertentu sebagai objek yang melegitimasi pemanfaatan produk maupun untuk mencerminkan sebuah citra ada kalanya menjadi kontroversi sendiri dalam memperdebatkan keadilan gender. Contoh yang mudah dijumpai adalah pada komoditas untuk keperluan anak. Susu bayi dan anak, sabun dan shampo untuk balita sampai dengan bedak bayi misalnya, sering ditampilkan dengan objek perempuan di dalamnya. Hal ini didasari oleh fenomena kode-kode sosial yang ada, bahwa peran gender yang pas untuk fungsi dan kepengurusan merawat serta mengasuh anak lebih ditujukan untuk perempuan (ibu), sehingga citra yang nampak dari jenis iklan untuk produk-produk tersebut sering merefleksikan suatu pola harmonisasi, kesabaran, ketulusan, maupun tali kasih sayang antara ibu dan anak.
Penjabaran citra tersebut dalam iklan televisi, bahkan divisualisasikan dengan sedemikian indah, tulus dan bahkan penuh keharuan, lewat sudut pandang kamera (angel) serta efek-efek tertentu, sehingga secara tidak sadar ikut membentuk dan semakin melegitimasi citra perempuan dalam bias gender pada konstruksi sosial, khususnya tentang kesesuaian untuk aktivitas-aktivitas tersebut di atas. Fakta tersebut memang tidak dapat dipungkiri telah terideologikan sejak lama dalam kebudayaan manusia, akan tetapi dengan tetap direkonstruksikan peran gender ini, bahkan dalam iklan-iklan televisi yang disajikan secara natural dan indah, dalam bentuk sekilas kehidupan (slice of life), bukan tidak mustahil citra perempuan akan semakin kokoh dalam konstruksi sosial masyarakat, yakni berperan dalam fungsi domestik yang mungkin tidak alami jika digantikan oleh jenis kelamin yang lain.

Terlebih lagi jika rekonstruksi gender yang dikemas dalam representasi iklan ini ditayangkan lewat media televisi yang tentu kapasitas audience-nya sangat luas, tentu mempunyai dampak atau efek yang signifikan. Teknologi televisi sendiri dikatakan dapat menciptakan apa yang disebut dengan publik dunia. Kejadian yang terjadi di dunia luar dapat dilihat di rumah masing-masing pemirsa dengan melintasi ruang dan waktu. Tentu realita teknologi ini sangat menguntungkan sekali terhadap fungsi komunikasi, entah hal ini untuk mencari popularitas, propaganda, pembenaran atau melegitimasi hegemoni ideologi.
Dengan masih terkonstruksi dan terdefinisikan lewat ‘pernyataan-pernyataan’ sosial yang dalam hal ini adalah representasi iklan yang ditayangkan lewat televisi, kemungkinan sulit sekali diskursus tentang perempuan dalam hubungan gender ini terdekonstruksi dalam tatanan masyarakat. Iklan-iklan ini secara tidak langsung telah melegitimasi suatu kode-kode sosial yang secara ‘naturalis’ telah menjadi tembok pembendung terhadap wacana publik khususnya yang mempertentangkan gender untuk memperoleh kesetaraan.
Tubuh wanita adalah modal kapital dan juga bertumpukannya kode sosial yang dimiliki oleh wanita untuk dipasarkan dalam dunia ekonomi kapitalistik saat ini. Ketika The Mind and The Soul sudah tercerabut dari seorang wanita, maka dia hanya mempunyai sebuah tubuh yang layak untuk dijual. Tubuh menjadi titik sentral dari mesin produksi, promosi, distribusi dan kunsumsi kapitalisme. Tubuh diproduksi sebagai komoditi dengan mengeksplorasi berbagai potensi hasrat dan libidonya untuk dipertukarkan sebagai komoditi (video girl). Tubuh juga dijadikan sebagai metakomoditi yaitu komoditi untuk menjual komoditi lain, lewat peran sentralnya di dalam sistem promosi kapitalisme (cover girl). Tubuh juga mempunyai peran sentral di dalam sistem distribusi, yaitu sebagai pendamping komoditi (promo girl). Tubuh juga menjadi sasaran utama dari konsumsi, yakni dengan menciptakan berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan tubuh (perfect girl). Begitu sentralnya peran tubuh di dalam kapitalisme, sehingga bersamanya berkembang pesat sains dan tekhnologi mutakhir tentang penyempurnaan tubuh (body building, operasi plastik).[9]
Iklan juga umumnya menempatkan perempuan sebagai pemuas seks laki-laki, misalnya dalam iklan Kopi Torabika ("Pas Susunya"), Pompa Air Shimizu ("Sedotannya Kuat, Semburannya Kenceng"), Oli Enduro ("Mana yang tahan Lama?") dan masih banyak lagi. Seks dalam masyarakat selalu digambarkan sebagai bukti kekuasaan laki-laki (phallus) terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarkal, seks merupakan bagian yang dominan dalam hubungan laki-laki dan perempuan, serta menempatkan perempuan sebagai subordinasi.
Perempuan telah menjadi mega bisnis kaum laki-laki, sebab yang menguasai perekonomian akhirnya juga laki-laki. Akan tetapi lucunya para perempuan ini tidak pernah merasa telah melakukan dosa terhadap sesama kaumnya. Hal ini dimungkinkan karena saking biasanya dieksploitasi, perempuan menjadi keenakan di dunia yang sebenarnya tidak memberikan kebebasan lebih besar dibanding peran-peran domestik. Ini adalah kemunduran degradasi, dekadensi dibanding masa-masa lalu. Eksploitasi kapitalisme atas perempuan tidak pernah memunculkan gelombang protes ataupun pemberontakan yang cukup berarti, tidak terjadi revolusi radikal, bahkan keluhan kecil sekalipun tidak terdengar. Kebudayaan massa telah mengobsesi perempuan tentang dunia baru yang serba instant, spontan dan absurd. Perempuan memimpikan taman firdaus diluar rumah, namun ternyata keterlibatan publik diasumsikan dengan konotasi yang tidak tepat. Sebab dunia barunya seringkali malah menciptakan neraka yang melingkari lehernya dan memenjarakan intuisinya.

0 komentar:

Posting Komentar